Entri yang Diunggulkan

THE NEW ERA - CYBERSPACE (DUNIA MAYA), SIAPA YANG MENGENDALIKANNYA

THE NEW ERA – CYBERSPACE (DUNIA MAYA) SIAPA YANG MENGENDALIKANNYA Peradaban dunia kini berubah begitu cepat, dunia seakan menjadi kec...

Sabtu, 13 Februari 2016

PENGALAMAN PAHIT PERTAMA YANG SAYA ALAMI.


PENGALAMAN  PAHIT PERTAMA YANG SAYA ALAMI DALAM HIDUP SAYA.

Sewaktu Saya selesai dari SMA III di Manado tahun 1976, baru beberapa minggu setelah Saya tamat, Saya mendapat telegram. Saya kaget, antara percaya dan tidak, mau menyangkal rasanya terhadap realitas itu, di depan mata tertulis dengan jelas dalam telegram berita duka. Dan lebih mengagetkan adalah nama Ayah saya yang tertulis dalam telegram itu. Badan Saya berdiri kaku, gemetar, bagaikan disambar petir rasanya. Bolak balik Saya baca isi telegram itu, antara percaya dan tidak. “Berita duka.Telah meninggal dunia Bapak Nathaniel Lombo di Desa Kinali Siau Barat, Sangir Talaud”. Nama ini adalah nama Ayah Saya. OH Tuhan, kenapa ini harus terjadi. Sulit rasanya menerima kenyataan ini Tuhan.

            Dalam kekalutan hati, Saya masih teringat akan Tuhan. Saya masuk kedalam kamar, dan mengunci kamar. Saya bertelut dan berdoa. “Oh Tuhaaaan, Saya tau Ayah Saya telah meninggal. Akan tetapi Saya juga tau masih ada Engkau Tuhan, Engkau adalah Allah Yang Hidup, yang mengawasi kehidupan setiap umat manusia sebagai ciptaanMu. Walaupun Ayah Saya kini telah tiada, aku yakin Engkau Tuhan tidak akan meninggalkan Saya” Itulah doa Saya waktu itu.
            Walaupun sudah berdoa, namun kesedihan itu tidak langsung beranjak dari dalam diriku. Hatiku hancur, sedih. Segala kenangan dengan Ayah terbayang, apalagi waktu terakhir beliau menjahit seragam sekolah saya yang sobek dan beliau meneteskan air mata waktu itu. Beliau sadar bahwa semestinya saya sudah malu mengenakan celana itu. Mungkin bagi anak remaja yang lain, keaadaan seperti itu akan sulit diterima, karena akan jadi bahan ketawaan bagi anak2 yang lain. Baru saja beberapa minggu beliau tersenyum karena prestasiku di sekolah, lulus dengan prestasi terbaik. Kini dia telah tiada. Dia pergi tanpa saya bisa menyaksikannya. Bayangan kedepan seakan kabur. Harapanku untuk bisa melanjutkan pendidikanku telah sirna.            Oh Tuhaaan…..Mengapa….Mengapa ini terjadi pada diriku Tuhan…..Saya belum bisa membalas jasa Ayah…kebaikan Ayah…..Oh Tuhan… Tuntunlah aku menapaki lorong yang gelap ini. Banyangan hidupku kini menjadi buram, bahkan menjadi gelap. Oh Tuhaaan terangilah jalanku, tuntunlah aku menapaki lorong yang gelap ini. Aku tau ada Engkau ya Tuhan. Hanya kepadaMu kupasrahkan hidup, kehidupan dan penghidupanku ya Tuhan.
Air mata menetes tiada henti, terpikir bahwa Saya harus segera pergi ke Siau. Kasihan Ibuku hanya seorang diri menghadapi musiba ini. Saya pergi kepelabuhan Manado, mengecek Kapal yang akan berangkat ke Pulau Siau. Sayang waktu itu pelayaran masih terbatas. Hanya 3 (tiga) kali dalam seminggu kapal berlayar ke Pulau Siau. Sayapun harus menunggu. Karena Kapal belum ada yang berangkat ke Siau, Saya pergi menginap ke Tante Saya di Tuna sambil membawa telegram tersebut. Ketika tante Saya membaca telegram tersebut, dia menangis, kaget dan heran, kenapa Bapakmu usianya jauh lebih mudah dari Saya, kok meninggal begitu cepat. Tante memeluk saya sambil menangis.
           
            Waktu Ayah meninggal usia ayah Saya waktu meninggal baru sekitar 61 tahun. Usia yang masih belum terlalu tua sesungguhnya. Namun tante Saya memberi semangat kepada Saya. “Ungke jangan terlalu larut dalam kesedihan. Semua ini adalah rencana Tuhan. Ungke harus kuat. Harus bisa menghadapi cobaan hidup ini. Pulangjo ke Siau, pergi lihat Papa Pe kubur, kong bale ulang ke Manado.” Itulah nasihat tante Saya dalam logat Manadonya yang sangat kental. Gelisah, pikiran melayang, sulit rasanya melewati malam itu. Saya begitu sedih, pikiran kalut karena masih sulit menerima kenyataan itu. Itu adalah pengalaman yang paling paling pahit pertama yang pernah Saya alami dalam hidup Saya. Sepanjang malam Saya hanya menangis dan berdoa kepada Tuhan, minta pertolongan dan menyerahkan langkah hidup Saya selanjutnya. Besoknya Saya pergi kepelabuhan, untuk membeli tiket kapal dan berangkat ke Pulau Siau. Setibanya di Kampung, begitu keluarga tau Saya sudah datang. Semua mereka datang berkumpul dirumah sambil dmenangis. Ada kata-kata yang keluar dari ungkapan kesedihan mereka, dan keterharuan terhadap diri Saya.“ Kasian ngana Ungke. mo jadi apa ngana pe nasib”, ngana harus berjuang keras ungke karena sapa lagi yang bisa liat. Papa adalah harapan ungke, sekarang so nyanda ada. Hati Saya terperangah, haru dan bagaikan kena kilatan petir, sadar mendengar ungkapan seperti itu. Perkataan yang memicu sengangat juangku. Kata-kata itu keluar dengan tulus dari tante-tante dan Om-Om Saya di kampung. Kata-kata itu menjadi cambuk dan menjadi dorongan, jadi pemicu semangat. Saya tidak mau larut dalam kesedihan yang berkepanjangan. Saya harus bangkit dari kesedihan ini, dan harus mengambil langkah untuk berjuang walaupun Ayah sudah tiada. “Saya harus balik ke Manado, dan harus sekolah setinggi tingginya walaupun tanpa bantuan keluarga sekalipun” itulah tekat yang tertanam dalam batin saya waktu mendengar ungkapan dalam tangisan keluarga waktu itu.
Ibu Saya menangis tersenduh senduh seperti mau pingsan saat menyambut kedatangan Saya. Saya sangat kasihan pada Ibu Saya, karena dia tinggal sebatang kara di Kampung. Dia tidak bisa meninggalkan kampung halaman, apalagi Ayah Saya dimakamkan dekat rumah kami. Dan sangat sulit baginya untuk meninggalkan kuburan Ayah Saya. Dia rela hidup sebatang kara. Namun Saya tidak juga menyerah, dan tidak mau harus tinggal dikampung.
Hanya beberapa hari Saya tinggal dengan Ibu Saya, kemudian Saya mohon ijin ke Ibu untuk pergi lagi ke Manado. Kata Ibu Saya, terus kamu bagaimana Ungke di Manado, Papa sudah tidak ada. Tantu ngana so nimbole lanjutkan ngana pe sekolah. Saya bilang ke Ibu Saya, “Mama tenang, kita ini laki-laki. kita bisa hidup di Manado walaupun harus bekerja di toko juga tidak apa, akan kita jalani. Yang penting Mama doakan kita, lepaskan kita dengan iklas dan iringi kita ape perjalanan dengan Doa. kita yakin Ma, Tuhan tidak tidur, akan selalu buka jalan buat kita.” Itulah jawaban saya dengan menggunakan logat Manado, untuk meyakinkan ibu pada waktu itu.
            Saya tidak kuatir meninggalkan Ibu di Kampung, karena di kampung masih ada 2 (dua) om, kaka dari Ibu Saya yang masih hidup dan 2 (dua) juga tante Saya, kakak dan adik dari ibu Saya yang juga masih hidup di kampung waktu itu. Oh ia hampir lupa, masih ada satu kakak Saya perempun, tapi kami hanya satu Bapak. Kakak Saya yang nomor satu yang satu Ayah, dia sudah menikah dan tinggal juga di Kampung. Itulah yang membuat Saya cukup yakin untuk meninggalkan ibu seorang diri di Kampung.
            Saya hanya 2 Minggu tinggal di Siau, setelah itu saya mohon pamit ke Ibu, Kakak, serta Om-om dan Tante-tante di Kampung. Kebetulah hari itu adalah jadwal kapal berangkat ke Manado, sayapun pergi ke Pelabuhan Ulu untuk beli tiket. Walaupun dengan rasa berat hati karena meninggalkan Ibu seorang diri, saya terpaksa harus meninggalkan Pulau Siau dengan satu tekat yang bulat, saya harus pergi ke Manado dengan suatu tekat harus melanjutkan pendidikan saya, dengan segala upaya dan cara yang tentu berkenan bagi Tuhan, walaupun saya tau itu berat dan sulit. Kapal bastom 2 (dua) kali, saya pamit ke Ibu untuk naik kekapal, Ibu saya menangis melepaskan kepergian saya. “Mama tidak ada doi ungke. Jangan lupa Tuhan diperantauan, selalu berdoa. Papa, sepanjag hidupnya telah dia abdikan untuk pekerjaan Tuhan, Pasti Tuhan akan jaga kamu ungke di perantauan. Pegang kejujuran, hidup rendah hati, tidak boleh sombong, kalau kerja dengan orang bekerjalah dengan jujur dan tulus. Ingat Papa itu selalu mengajarkan kebaikan kepada anggota jemaat. Kamu harus ingat apa yang Papa ajarkan.” Ibu memeluk saya sambil menangis, lalu kami berpisah. Dan itulah pertemuan saya yang terakhir kali dengan Ibu saya. Ohhh Tuhaaaan ini berat tapi harus kujalani.
            Setibanya di Manado, kebetulan tidak jauh dari rumah Saya, ada toko, milik Ko Ben, dia peranakan China, tapi masih ada darah Sangir dari Ibunya. Beliau seorang pebinis yang hebat. Rajin, ulet dan punya keyakinan diri yang tinggi, itulah sifat beliau yang Saya sukai. Beliau sangat pintar menarik hati para pelanggan. Banyak sekali petani Kelapa dari pulau dan daerah pesisir pantai yang menjadi langganan setia beliau. Memulai usahanya dari usaha yang masih terbilang kecil. Sampai bisa buka toko yang sangat besar. Beliau tau Saya pulang ke Kampung karena Ayah Saya meninggal.
            Suatu hari Sayap pergi ngobrol dengan beliau di Toko, kebetulah beliau ada dan tidak terlalu sibuk. “Hai Ungke, so pulang ngana, kong bagaimana keadaan di Kampung di Siau.” Saya pun cerita bagaimana suasana Saya waktu tiba, dan saudara-saudara pada menangisi nasib saya. Mereka mencoba menguatkan serta memberi dorongan moril kepada saya waktu itu. Mereka memohon agar saya harus berjuang keras dan banyak berdoa agar Tuhan buka jalan. Dia merasa haru mendengar cerita Saya. Lalu menanyakan “terus apa rencanamu kedepan”. Saya jawab, “Saya akan tetap sekolah.” Lalu dia menawarkan Saya untuk bantu dia di Toko.
Sayapun menyanggupinya. Saya pikir tidak apa Saya harus kerja di Toko untuk bisa mendapatkan biaya melanjutkan pendidikan Saya. Saya harus mengambil kendali untuk merubah nasib, dan tetap pada tujuan Saya yaitu menempuh pendidikan. Saya tidak harus menyerah, tidak harus luntur hati untuk menggapai tujuan Saya. Tekat untuk menggapai cita-cita tambah membarah dalam diri Saya. Berubah dari ingin jadi Perwira Kapal, sekarang kepingin jadi Pilot. Mungkin terpengaruh oleh seringnya melihat pesawat terbang yang lewat, karena waktu tinggal di Tuna, pas pada arah pesawan mendarat dan take off.
            Satu lagi yang membuat mengapa Saya merubah niat Saya jadi pelaut. Pernah satu kali dirumah kami di Tuna, waktu itu Saya dan Arah Dio tinggal berdua. Kemudian ada satu Ibu, usia masih belum terlalu tua, dia adalah Guru SD ikut tinggal dengan kami. Guru ini sudah ada suaminya, tapi kerja di Kapal. Guru ini sering sekali terima laki-laki dirumah kami. Dan langsung terlintas dikepala Saya. Wah nanti kalau Saya kerja di Kapal nanti, rumah tangga Saya akan kacau seperti ini. Istri Saya nanti akan seperti Ibu ini. Dan Saya merubah haluan Saya.
Niatpun beralih dari berkeinginan Jadi Nangkoda atau Kapten Kapal, sekarang pengen jadi Pilot. Tanpa Ayah, rencana Saya tetap jalan. Tekat membara karena terngiang terus dalam terlinga Saya tangisan dari keluarga di Siau waktu Ayah meninggal. Saya harus mengambil tanggungjawab untuk menggapai cita-cita. Tanpa Ayah, kini semua tanggungjawab itu kini pindah pada pundak Saya. Saya telah melatih diri Saya, untuk tidak merengek, tidak menggantungkan nasib Saya pada orang lain. Pikiran Saya waktu itu, Saya ini anak laki-laki, sudah terbiasa menerjang ombak dan badai di Laut sewaktu masih kecil di Siau, Saya tidak boleh menyerah. Alam sudah mendidik Saya tumbuh menjadi anak yang tahan mental, tahan banting. Filosophy leluhur “Somahe kai kehage” (Berlayar melawan arus dan angin adalah sangat menantang), benar-benar harus saya aplikasikan dalah kehidupan saya, dalam memperjuangkan nasib. Saya tidak boleh menyerah. Apapun dengan tanpa membawa modal satu perakpun, Saya harus bisa hidup, dan bisa mencapai cita-cita Saya.
Begitulah tekat Saya waktu itu. Saya tidak boleh terpengaruh dengan pikiran negatif orang lain, Saya tidak perduli dengan apa pandangan orang tentang Saya, Saya yang tau diri Saya. Saya sekarang yang menentukan nasib Saya.
            Saya sudah mulai membiasakan diri saya untuk tidak termakan dengan pandangan negatif dari orang lain. Belajar untuk selalu berpikir positif. Lama kelamaan Saya terbiasa, dan tumbuh dengan sikap seperti itu. Selalu berpikir positif dalam merespon segala tindakan atau pengaruh, atau suatu rangsangan (stimulus) dengan menganalisa, berusaha memahami sumber stimulus, alasan suatu stimulus, baru menanggapinya. Terkadang Saya heran dengan orang yang suka menyalahkan keadaan atau situasi. Padahal keadaan atau situasi, atau faktor alam tidak dapat kita kendalikan. Saya melatih diri untuk melakukan hal hal dpt saya kendalikan. Saya selalu tidak menanggapi sesuatu yang menurut saya hanya akan membuang eneregi dan diluar kendali saya. Hal-hal yang dapat saya kendalikan itulah yang menajadi fokus saya bergerak, bertindak, dan berpikir.
            Teringat pada petua yang Ayah saya berikan ketika beliau masih hidup. “Jadilah orang jujur, tulus melakukan pekerjaan dan rendah hatilah selalu”. Petua itu tersimpan begitu rapih dalam ingatan Saya, tertanam dalam hati sanubari saya begitu kuat dan dalam. Dan benar, saya tidak menyentuh sedikitpun barang-barang jualan dalam toko, ketika Ko Ben menawarkan saya bekerja membantu dia di Toko. Sejak saya masih di Kampung, setiap saya jualan Es Mambo milik Tokonya Ko Liongko, dekat rumah, tidak pernah saya mengambil satu senpun Es yang saya jual, dan semua uang hasil jualan,  saya setor tanpa satu rupiahpun yang hilang atau saya tahan. Ayah saat itu selalu mewanti-wanti, “hati-hati Ungke, pegang tanggung jawab, dan jaga kejujuran, jaga nama, nama kamu dan nama keluarga”.
            Satu biji permenpun tidak pernah saya sentuh. Saya berpikir kalau saya sudah berani mengambil permen, nanti saya sudah berani mengambil kue, dan selanjutnya mungkin bisa meningkat ke hal-hal yang lebih besar. Jadi saya pegang betul petua Ayah saya tersebut. “HELFRIED, kau harus jadi orang jujur, orang penurut, dan jadi orang yang rendah hati, tidak boleh jadi orang yang sombong.” BegItulah cara Saya memberikan Autosugesti pada diri Saya sendiri, dan memotivasi diri saya sendiri.
            Menjadi orang jujur, tulus dan rendah hati butuh tekat dan komitment yang kuat. Kita harus mampu mendisiplinkan diri sendiri. Harus jelas batasan mana hak kita dan mana bukan hak kita, mana barang milik kita dan mana barang bukan milik kita atau barang milik orang lain, dan kita harus dengan ikhlas dan tulus serta bertanggung jawab menjaga harta dimana kita diberi kepercayaan untuk menjaganya. Dari hal kecil kita harus melatih diri kita, mendisiplinkan diri kita.
            Petua, wajangan bukanlah sekedar kita dengar, dan ingat. Akan tetapi perlu kita praktekan, sehingga mengendap menjadi suatu kebiasaan hidup yang baik. Kita harus melatih diri kita untuk menanamkan kebiasaaan kebiasaan yang baik dalam kehidupan kita.    Membiasakan diri untuk melakukan kebiasaan yang baik membututkan tekat dan komitment diri yang sangat kuat. Karena itu adalah bekal hidup kita yang paling penting. Kebiasaan baik menentukan efektifitas dan kreatifitas kita dalam mencapai suatu tujuan. Dengan kreatifitas dan efektifitas diri yang baik, ditambah dengan kapasitas diri yang semakin besar, ditunjang juga dengan selalu proaktif dalam berkreasi dan berinovasi, maka tujuan kita akan lebih mudah kita capai. Ko Ben pun sangat senang dengan saya. Lama kelamaan saya sudah dipercaya memegang kunci laci tempat penyimpanan uang. Semakin saya dipercaya, semakin kuat saya berkomintment untuk mendisiplinkan diri untuk tidak tergiur dengan barang yang bukan milik saya. Tanggung jawab menjaga kepercayaan orang lain yang diberikan kepada saya semakin saya pegang dan pelihara.
            Demikianlah saya melatih diri, mendisiplinkan diri, berkomitmen pada diri saya, untuk menjaga milik orang lain, milik bos, milik perusahan yang dipercayakan kepada Saya untuk menjaganya. Bagi Saya nama adalah segala galanya, karena hanya itulah modal saya diperantauan. Menjaga kepercayaan, itulah yang utama saya jaga dan pelihara, dan tanamkan dalam hati sanubari saya.
            Saya menyampaikan keinginan saya untuk mau ikut Kursus Bahasa Inggeris, dan Ko Ben mengijinkan. Beliau memberikan toleransi kepada saya utuk boleh pulang Jam 5.00 sore hari, karena saya harus menyiapkan diri untuk pergi mengikuti Kursus Bahasa Inggeris. Cita-cita jadi pelaut kini sudah tergantikan dengan keinginan jadi Pilot. Dari informasi sahabat saya yang pernah ikut test, ternyata salah satu mata pelajaran yang ikut ditest adalah bahasa Inggeris. Kebutuhan untuk bisa berbahasa Inggerispun mulai timbul. Tadinya saya benci bahasa inggris waktu SMP dan SMA. Kini saya harus merubah pandangan saya. Saya baru sadar bahwa ternyata menguasai Bahasa Inggeris adalah penting.
            Persepsi saya yang keliru melihat Bahasa Inggeris, tiba-tiba menjadi berubah. Atas kesadaran sendiri saya bertekat untuk mengambil kursus Bahasa Inggeris. Dari tadinya sangat membenci mata pelajaran itu, kini minat menjadi tinggi, dan rasanya kepingin cepat bisa menguasai Bahasa Inggeris.
            Kursuspun dimulai, Sekitar bulan Maret 1977, Saya mendaftar jadi peserta kursus. Setelah dilakukan test untuk penempatan kelas, ternyata hasil test saya sangat buruk. Penguji menyampaikan hasil test saya, dan ternyata saya harus mulai dari Level One. Level yang paling bawah, paling pemula dalam belajar Bahasa Inggeris. Saya sadari hal itu, karena waktu SMP dan SMA saya benar-benar tidak berminat belajar pelajaran itu. “Ngapain saya harus belajar bahasa orang lain, bahasa saya kan Bahasa Indonesia.” Jiwa Nasionalisme saya rupanya sudah mulai tumbuh sejak itu. Maka mulailah saya dari Level One, Level Paling awal, Level Pemula. Dengan tekat yang begitu kuat, bagaikan disulap, setiap hari saya harus bisa menghafal minimal 20 kata baru. Itu yang saya lakukan dan sudah saya komit. Dalam waktu 1 (satu) tahun saya sudah harus bisa berbahasa Inggeris. Cara itu ternyata berhasil. It Works. Dalam waktu 6 (enam) bulan saya sudah bisa mengerti membaca buku cerita dalam bahasa Inggeris, walaupun masih dengan mengambil garis besar jalan cerita. Belum dapat mengartikan kata perkata dalam buku cerita itu.
            Saya sudah mulai bisa berbicara dengan Bule bule, para instruktur dari Amerika yang datang ke Indonesia sebagai instruktur Bahas Inggeris. Mereka adalah para student Missionaries yang datang untuk membantu pekerjaan missionary, melalui pendekatan Bahasa Inggeris. Pertolongan Tuhanpun datang pada saya. Karena melihat perkembangan dalam menggunakan bahasa Inggeris maju begitu pesat, dan keseriusan saya serta minat yang begitu kuat, telah menarik perhatian dari para instruktur Bahasa Inggeris.
            Bule-bule Amerika itu mulai menyenangi saya. Sering kali saya diajak kediaman mereka di Airmadidi, di Kampus Universitas Klabat. Maklum mereka dapat perumahan di kompleks Universitas Klabat, bergabung satu kompleks dengan para Dosen Bule di Universitas Klabat. Saya jadi tertarik dengan kampus itu. Halamannya tertata begitu indah. Mesin pemotong rumput selalu dihidupkan setiap hari untuk memelihara keindahan halaman kampusnya. Tidak ada rumput yang tumbuh tinggi, karena beberapa tenaga mahasiswa selalu bekerja untuk mendorong mesing pemotong rumput.
            Suatu waktu Para Student Missionaries ini menawarkan saya untuk kuliah di UNKLAB, yang pada waktu itu masih berstatus Sekolah Tinggi. Saya bertanya kalau disana saya bisa ambil jurasan apa?. Mereka menjawab bahwa disana ada jurusan Filsafat, Akuntansi dan Pendidikan. Saya karena SMA jurusan IPA, dan berminat jadi PILOT, sehingga saya kurang tertarik waktu ditawarkan oleh mereka.
            Namun karena sering diajak ke Kampus, lama kelamaan saya jadi minat juga karena melihat Kampusnya yang rapi, bersih, dan tertata begitu rapih. Hal yang paling membuat saya terkagum, saya dengar mahasiswanya pada berbicara Bahasa Inggeris sesama Mahasiswa pada waktu itu. Wah boleh juga saya masuk. Tapi bagaimana cara bayarnya. Berkat Tuhan nyata pada saya. Para Student Missionary tersebut menawarkan kepada saya untuk membiayai kuliah saya sambil saya juga diajari untuk cara cari uang untuk bisa biayai kuliah saya. Maka jadilah saya Mahasiswa UNKLAB dengan mengambil jurusan Akuntansi.


INI SEGELUMIT PENGALAMAN PAHIT YANG PERNAH SAYA ALAMI, NAMUN SAYA BERUNTUNG BERKAT AYAH SEORANG PINOLONG YANG SELALU MEMBEKALI SAYA DENGAN PENDIDIKAN ROHANI YANG BAIK. SAYA DITANAMI PRINSIP HIDUP ; RENDAH HATI, JUJUR DAN TULUS, SERTA TAKUT AKAN TUHAN. SEMOGA PENGALAMAN INI BISA MENJADI BAGIAN HIDUP ANDA.
KISAH INI SAYA MUAT DALAM BUKU SAYA YANG SAYA BERI JUDUL CAHAYA DARI NUSA UTARA.
MOHON KERELAANNYA UNTUK MEN SHARE CERITA INI KEPADA SAHABAT ANDA AGAR BISA MENGINSPIRASIKAN MEREKA UNTUK MAU JADI ORANG YANG BERHASIL DENGAN TUNTUNAN TUHAN.
BY
HELFRIED LOMBO

Kontak saya

Phone : +6282296103703

1 komentar:

  1. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    www.arenakartu.cc
    100% Memuaskan ^-^

    BalasHapus